Jelajah PLTA Ketenger Banyumas

Beberapa waktu lalu saya ikut sebuah Jelajah yang memadukan antara wisata sejarah, wisata alam dan Hiking. Pada awalnya saya kurang tertarik untuk mengikuti Jelajah ini karena dari dari judulnya terlihat asing dan tidak menarik yaitu JELAJAH PLTA KETENGER. Namun sebagai pecinta sejarah dan warisan saya harus cari tau apa itu KETENGER. Pihak penyelenggara yaitu Banjoemas History Heritage Community rupanya sudah menuliskan sejarahnya di websitenya www.banjoemas.com

SEJARAH PLTA KETENGER
Proyek ini dibangun oleh N.V.  A.N.I.E.M (Algemeene Nederlandsen-Indische Electriciteit Maatschappij) wilayah kerja Karsidenan Banyumas tahun 1940. Desain dan pengerjaan dipimpin oleh ir. G. S. GOEMANS yang merupakan Insinyur N.V. A.N.I.E.M dan setelahnya perawatan dan pendistribusian dilakukan oleh N. V. Electriciteitmaatschappij Banjoemas (E.M.B.)


banjoemas.com
Peta Proyek dan transportasi Klik disini untuk ukuran besarnya

banjoemas.com
Pembuatan bangunan penangkap air di hulu sungai Banjaran

Proyek Ketenger di bangun di desa Ketenger dengan memanfaatkan aliran air hulu sungai Banjaran. Perusahaan Listrik Banyumas dengan kekuatan daya 1000 pk yang kemudian ditarik ke Purwokerto untuk di distribusikan ke Purwokerto, Sokaraja, Purbalingga, Trenggiling (Rumahsakit Zending), Banyumas, Maos, Cilacap, Kroya, Sumpyuh hingga Gombong, Kebumen dan Kutowinangun.
Pembangunan pembangkit ini sudah dimulai pada tahun 1927 dan pada tahun 1929 proyek ini di hentikan dan pada 1936 proyek inipun dikaji ulang dan akan di teruskan jika proyek besar karsidenan Banyumas ini juga bisa menghidupkan "Groote Krojaplan" (Proyek besar Kroya) yaitu berupa Pengairan irigasi dan pasokan listrik.
Proyek Ketengger menggunakan teknologi Hydro ini terletak pada ketinggian 365 - 665 m diatas permukaan air laut, air penggerak menggunakan air dari hulu Kali Banjaran dan beberapa mata air disekitarnya (ditas desa Kalipagu). Air dialirkan melalui pipa cor dan pipa besi turun ke bawah hingga melewati sungai Pagu (Kali Pagu) dengan membangun Syphon, dan air dinaikan lagi dan kemudian turun di Sungai Brajawaringin. Diatas sungai ini dibangun Aquaduct (terowongan air dari beton) dan kemudian naik lagi hingga di terima oleh Buffer inrichting kleppen huis (Hydran) sehingga air tidak turun lagi ke Aquaduct. Dari sinilah Air meluncur ke bawah dengan menggunakan pipa besi bertekanan tinggi yang dipasang tunggal. Air meluncur dengan kecepatan tinggi hingga bisa memutar turbin pada pembangkit listrik di Centrale (bangunan pembangkit) dan kemudian air di buang ke Sungai Banjaran lagi.

MBLUSUK
Saluran pengendapan

MBLUSUK
Pembuatan siphon diatas sungai Brajawringin

MBLUSUK
Pengangkutan dengan cara tradisional

MBLUSUK
Pusat penggerak pada 15 Maret 1938

MBLUSUK
Pipa tekanan air kedua

MBLUSUK
Jalur Lori untuk mengangkut peralatan dan bahan bangunan

MBLUSUK
Peta Sebaran jaringan Listrik ENIEM Banjoemas

Pembangunan proyek Ketenger berada jauh dari Pusat kota Purwokerto, jalan ke Baturraden pada masa itu sudah ada, namun tidak cukup untuk kendaraan berat yang mengangkut peralatan dan bahan bangunan menuju lokasi.Melalui proses perencanaan yang matang akhirnya dipersiapkan infrastruktur untuk mendukung jalur transportasi yaitu pengerasan jalan dari Stasiun SS (Staats Spoorwagon) Purwokerto hingga desa Ketenger, kemudian pengerasan dan pelebaran jalan di desa Ketenger yang merupakan wilayah Perhutani dan juga dibangunlah jalur rel lori sepanjang 2.2 Km yang juga dibangun secara serius (permanen) dengan membangunnya diatas tanah yang solid dan membangun jembatan rel diatas sungai Gemawang, Sungai ketenger dan Sungai Banjaran. Sehingga dari kesemuanya alur masuknya peralatan berat yang dibutuhkan proyek menggunakan 3 kali transportasi yang berbeda. Peralatan di datangkan melalui kereta SS (Staats Spoorwagon) Purwokerto, kemudian diangkut menggunakan kendaraaan jalan raya ke Ketenger (Gudang peralatan), dan di teruskan menggunakan rel Lori (60cm) hingga ke lokasi proyek.
Seluruh pengerjaan konstruksi hanya berlangsung 15 Bulan (Oktober 1937 - Januari 1939) Pengerjaan Proyek rupanya menemui resiko yang sangat besar yaitu musim hujan, namun dari tahapan keseluruhan yang paling sulit adalah turunnya hujan pada masa pengeringan konstruksi selama tahun 1938. Proyek ini adalah pekerjaan yang sangat berat untuk pekerja pribumi dimana lima sampai enam ratus orang pribumi bekerja selama berbulan-bulan. Tidak semua barang-barang perlengkapan bisa di bawa dengan transportasi, pasir, batu, kerikil, semen atau bahkan gelondongan besi cor dan beton pun dibawa secara tradisional (dipikul sendiri atau bersama). 

JELAJAH PLTA KETENGER
Sabtu 21 Februari 2015

MBLUSUK
Banner Jelajah PLTA Ketenger di www.banjoemas.com

Jelajah diawali dari palang kuning Ketenger yang dulu di fungsikan sebagai tiang katrol untuk menaikan material ke atas kereta lori, disana terpampang tahun dimana pembangunan diselesaikan yaitu pada tahun 1939. Dan sekarang rangka besi ini masih berada di tempatnya,  dan juga rel yang melintang di bawahnya meski sekarang berada di bawah aspal jalan. Kemudian peserta diajak menyusuri jalur rel yang menuju ke pusat PLTA Ketenger. Peserta merasakan benar betapa rute yang dilalui merupakan medan yang susah. Masih banyak rel yang terlihat muncul di permukaan, namun sebagian besar rel sudah tertimbun tanah selain karena sekarang berubah fungsi menjadi jalan setapak, beberapa tempat terlihat bahwa tanah benar benar menutupi hingga terlihat semacam gundukan tanah longsor. Dua buah jembatan yang berada di atas sungai Gemawang (yang berasal dari kawasan isata Baturraden) dan sungai Ketenger masih terlihat kokoh berdiri dan sangat eksotis karena bukan merupakan jembatan lurus tapi merupakan jembatan lengkung. Sebuah jembatan yang berada di atas sungai Banjaran sangat di sayangkan hanya tinggal pondasi saja. Jembatan ini berada bersebelahan dengan jembatan jalan desa yang berada tepat diatas DAM Jepang dan di bawah curug Gede. Penyusuran sepanjang hampir 2 km ini memakan waktu sekitar 45 menit.

MBLUSUK
Peserta jelajah menyusuri rel, palang kuning Ketenger

MBLUSUK
Melewati lengkungan jembatan lori diatas sungai Gemawang

Kemudian pesarta sampai di rumah Putih yang merupakan setasiun pertama rel lori, karena melihat foto dokumentasi ada rel terusan menuju Central Pembangkit yang mengarah ke bawah dengan kemiringan 60 derajat. Meski dalam pengamatan saya sekarang rel itu sudah tidak terlihat lagi. Di level ini terdapat juga kolam tando yang airnya berasal dari DAM Jepang. Aliran dari kolam tando ini berfungsi untuk menambah pasokan air ke dalam turbin pembangkit. 


MBLUSUK
Peserta berfoto bersama di Rumah Putih


Panitia menghilangkan sesi berkunjung ke Central Pembangkit karena lokasi yang berada di lembah dengan kedalaman 600 meter. Karena di khawatirkan kurang siapnya fisik peserta, jadi jelajah langsung diarahkan untuk menyusuri pipa air menuju ke sumbernya. Ini adalah sesi terberat karena mblusuk sebenarnya ada di sesi ini. Sebuah pipa asli masih bertahan hingga sekarang dan Indonesia Power telah menambahnya menjadi dua instalasi pada tahun 1998-99 hingga sekarang. 60 menit untuk mencapai titik Surge Tank (Buffer Inrichting Kleppen Huis) dan peserta beristirahat sementara disana.

MBLUSUK
Pererta menyusuri pipa air sambil ber"selfie"

MBLUSUK
Peserta beristirahat di bawah bangunan pompa hidrolis

MBLUSUK
Peserta meneruskan perjalanan

MBLUSUK
Diatas sungai Brajawringin

Selanjutnya jelajah diteruskan mengingat waktu yang semakin siang, kali ini rute menyusuri jalan menurun hingga melewati sugai Brajawringin. Dan setelah ini kami tidak menjumpai adanya dua pipa besi disana, mulai disana berubah menjadi pipa beton yang merupakan tinggalan asli sejak pertama di bangun hingga sekarang belum di rubah. Pipa ini secara fisik tidak terlihat di permukaan, hanya terlihat semacam pematang besar. Bahkan saat melewati sungai Pagu Pipa beton sama sekali tidak terlihat melewati jembatan. Dan pemimpin jelajah menerangkan bahwa pipa beton di cor dan berada di bawah Sungai. Terdengar sangat luar biasa bahwasanya pada jaman dahulu meski peralatan sederhana dan medan yang susah namun bisa membangun dengan sempurna dan hingga kini di usia yang ke 76 tahun masih kokoh bekerja dan berfungsi dengan baik.

Dan tepat 90 menit akhirnya Jelajah sampai di kolam tando utama, dimana air yang di tampung berasal dari hulu sungai Banjaran di tambah dari beberapa mata air kali Akar dan saluran Sorobadag (Pancuran 7). Disana juga terdapat rumah kantor untuk mengawasi kawasan kolam tando dan hulu sungai Banjaran. Dilanjutkan menyusuri aliran air dari kali Akar dan saluran Sorobadag hingga berujung di Gua Sarabadag tempat dimana bercampurnya Air panas belerang pancuran 7 dengan air dingin, sehingga disana air terasa hangat. Dan disinilah titik Jelajah berakhir, sebagian besar peserta menyempatkan diri mandi air belerang yang hangat dan di pijat menggunakan bubuk belerang. 


MBLUSUK
Meniti jembatan diatas sungai Pagu

MBLUSUK
Saluran sebelum kolam tando

MBLUSUK
Peserta meniti jembatan air dari saluran Sarabadag diatas sungai Banjaran

MBLUSUK
Peserta berfoto bersama di depan Sumber Pitu (Pancuran Tujuh)

MBLUSUK
Pemandangan tebing Sarabadag

Setelah makan siang bersama di kawasan pancuran 7 beranjak keluar ke area parkir pancuran 7, sambil menunggu transportasi ke titik awal dibuka sesi diskusi dan tanya jawab, dan disinilah pertanyaan-pertanyaan yang masih tersisa di lontarkan dan di diskusikan. 

Dan saya puas dengan JELAJAH PLTA KETENGER begitu terasa dan begitu nyata, sebuah bangunan yang berusia 76 tahun masih berkerja dengan kokoh dan berfungsi dengan baik. Peralatan tradisional dengan medan yang terjal mampu di lalui dengan perencanaan luar biasa detail dan bermutu tinggi, cucuran darah dan keringat pekerja pribumi masih kita rasakan hingga anak cucu. Sebuah pekerjaan mulia dari sisi terang penjajahan Belanda di Nusantara

Terimakasih kepada Indonesia Power Ketenger, PALAWI dan BHHC.
Sumber tulisan www.banjoemas.com/pembangunan-aniem-banjoemas


Mblusuk Wirasaba

Wirasaba Sebelum Terlambat
Rabu 28 Desember 2011

Wirasaba seperti yang kita ketahui adalah awal dari 4 kabupaten di karesidenan Banyumas, sebagai desa kuno tentunya desa ini memiliki banyak sekali cerita dan peninggalan sejarah yang tak ternilai harganya. 28 Desember 2011 adalah momen yang tepat untuk melihat lebih dekat mempelajari dan mendokumentasikan sisa-sisa peninggalan agar masyarakat luas tau apa yang ada disana dan seperti Wirasaba itu ...

Sesuai dengan pengumuman yang telah disebarkan melalui email, Blog, Facebook dan SMS hari ini teman-teman dari 3 komunitas berbeda yaitu Banjoemas History Heritage Community BHHC, komunitas fotografi Lensa manual reg. Purwokerto dan komunitas pecinta kereta dari DAOP V SPOORLIMO dan follower www.banjoemas.com sebanyak sebelas orang berkumpul di GOR Satria Purwokerto untuk bersama berwisata sejarah bertajuk "Wirasaba Sebelum Terlambat".

Tepat jam 7.30 kita menuju 3 Km ke arah timur kota Purwokerto, Stasiun Sokaraja adalah lokasi pertama blusukan kita dimana dulu SDS membangun Stasiun ini pada tahun 1896 dan meresmikannya pada 05 Desember 1896. Bangunan Stasiun yang berupa Peron dan Gudang masih utuh hanya sekarang beralih fungsi sebagai Gedung PWRI Persatuan Wredatama Republik Indonesia dan juga bangunan menara air masih ada. Namun rangkaian rel yang membentuk stasiun dan membagi rel ke arah pabrik Gula kalibagor dan Pabrik Tepung Tapioka sudah hilang entah kemana. Setelah team berputar-putar mencari jejak stasiun akhirnya team melanjutkan perjalanan dengan menyusuri rel yang terbentang antara Stasiun Sokaraja sampai Stasiun Banjarsari.

Di tengah perjalanan kita menemui bekas persilangan rel SDS dengan rel lori Pabrik Gula Kalibagor di desa Karangsawah dan sedikit mendokumentasikan bekas jembatan lori yang tinggal pondasinya saja. Di Stasiun Banjarsari kita tidak bisa masuk ke dalam lokasi bangunan karena sepertinya bangunan stasiun telah menjadi hak milik perorangan. Jadi kita hanya mendokumentasikan lokasi diluar bangunan utama. Stasiun Banjarsari dahulu adalah stasiun percabangan ke arah Purbalingga dan ke arah Klampok - Banjarnegara dan Wonosobo.

Team akhirnya meneruskan perjalanan dengan menyusuri bekas rel yang kearah Klampok setelah tidak sma sekali menemukan bekas-bekas lain di Banjarsari. Banjarsari klampok adalah track lurus sehingga memudahkan team untuk menyusurinya. Beberapa lokasi bekas rel berubah menjadi jalan kampuny yang beraspal namun sebagian besar jalur masih berupa tanah, masih terdapat jembatan SDS yang asli namun beberapa sudah berubah menjadi jembatan cor.

MBLUSUK
Team sedang menyusuri jalur mati SDS

MBLUSUK
Team meniti bekas jembatan SDS
MBLUSUK
Jembatan bekas jalur SDS di atas sungai Klawing masih kokoh berdiri

Di Daerah Sumilir kalialang Team menemukan bangunan semacam halte yang setelah di cek dengan peta Belanda yang kami punya ternyata memang dahulunya bekas halte Muntang. Dari sini hanya berjarak sekitar 100m ke arah timur kita menemukan sebuah Jembatan yang lumayan tinggi namun lebih menakjubkan lagi 50 m ketimur lagi sebuah jembatan dengan kerangka besi panjang dan megah menjulang tinggi masih sangat kokoh melintas diatas sungai Klawing. Inilah kejutan untuk kita semua yang baru melintasi jalur ini, terutama teman kita dari komunitas Spoorlimo dan Lensa Manual Purwokerto dan beberapa follower. Berhenti agak lama di sini sambil beristirahat di atas jembatan.

Perjalanan kami lanjutkan kembali setelah puas mengambil gambar dan beristirahat, track masih lurus dan kanan kiri juga masih berupa kebun, sawah dan ilalang sampai di desa Karang Kemiri yang dimana dulunya juga terdapat halte Karangkemiri.

MBLUSUK
Pendopo Tirtasentana di desa Kembangan

MBLUSUK
Makam Ki Tirtasentana dan istrinya

Dari sana Team melanjutkan perjalanan ke Sebuah Pendopo Tirtasentana di desa Kembangan dimana BHHC diundang untuk mendokumentasikan situs Keluarga besarnya dan situs-situs yang lain di Wirasaba. Di Pendopo Tirtasentana sedang di adakan kumpulan trah Tirtasentana seluruh Indonesia. Disana kita disambut oleh Mbah Tomo yang merupakan penghubung BHHC dengan Keluarga Tirtasentana dan Djajadi Wangsa di Wirasaba. Oleh mbah Tomo kita seluruh team di ajak berkeliling ke lingkungan Pendopo yang masih asli itu. Dan Puas melihat pendopo kitapun meluncur ke Pemakaman di desa Kembangan yang merupakan pemakaman umum dimana banyak keluarga Tirtasentana dimakamkan.

MBLUSUK
4 wewelar atau pantangan yang terkenal itu

MBLUSUK
Cungkub makam Adipati Wargohutomo I

Selanjutnya Mbah Tomo mengajak ke desa Pekiringan dimana adipati Warga Hutama I dimakamkan. Adipati Warga Hutama I adalah adipati yang meninggal terbunuh di dusun Bener karena kesalahpahaman penguasa Pajang. Dari adipati inilah yang menurunkan 4 pantangan yang sangat terkenal itu;
- Jangan makan Pindang Angsa
- Jangan tinggal di rumah dengan atap Bale Malang
- Jangan memelihara kuda Dawuk Bang (Abu kemerahan)
- Jangan bepergian di Sabtu Pahing

Dari Pekiringan team menyebrang lewat jembatan bekas jalur SDS yang melintas diatas sungai Serayu. Setelah menyebrangi jembatan jalur bertemu dengan jalan kampung, dan team pun berhenti disana. Mbah Tomo menceritakan bahwa dahulu Djajadi Wangsa mengusulkan ke Maskapai SDS untuk membuat jalur khusus bongkar muat hasil pertanian dan perkebunan miliknya. Dan dari sinipun mbah Tomo memperlihatkan dermaga kecil di tepi sungai Serayu di belakang pendopo Djajadi Wangsa. Dermaga ini adalah sarana transportasi untuk mendistribusikan Hasil perkebunan dan pertaniannya ke pelabuhan Cilacap sebelum dibangunnya jalur rel SDS di desa Wirasaba.

MBLUSUK
Dermaga yang dahulu di gunakan untuk mengangkut hasil bumi milik Djajadi Wangsa

MBLUSUK
Cungkub makam Ki Djajadi Wangsa

Kemudian pendopo Djajadi Wangsa adalah tujuan selanjutnya, kita semua masuk dan melihat kedalam pendopo yang masih sangat orisinil dan terawat. Tuan rumah yang merupakan ahli waris pendopo Djajadi Wangsa menerima kami semua dengan ramah, namun kita tidak bisa berlama-lama di sana karena jam sudah menunjukan jam 12 siang.

Masih ada dua tujuan lagi yang harus kita kunjungi yaitu Pemakaman keluarga besar Djajadi Wangsa di tepi Lanud Wirasaba. Cukup lama kita disana karena mbah Tomo menceritakan dengan detail siapa saja yang di makamkan disana hingga akhirnya sampai juga di tujuan terakhir perjalanan kita yaitu pemakaman orangtua Djajadi Wangsa di lereng sebelah selatan desa Kembangan.

Perjalanan wisata sejarah yang mengesankan bersama teman teman BHHC, Lensa Manual Purwokerto dan Spoorlimo, kitapun mengakhirinya di pendopo Tirtasentana, dimana kita disuguhi makanan tradisional macam Cimplung dan wedang dawegan. Selanjutnya kita berpamitan

Kami berharap jalur rel mati dapat di hidupkan kembali sebagai alat trasportasi masal atau wisata, dan lintas rel mati ini bisa berpotensi menjadi obyek wisata baru, yaitu wisata tracking.

Terimakasih www.banjoemas.com, komunitas BHHC, Komunitas Lensa manual dan Komunitas Spoorlimo dan dari keluarga Wirasaba mbak Estining 'Engky' , Pak Tomo , Pak Suyono dan keluarga besarnya ... dan semua pihak yang telah membantu melancarkan acara WIRASABA SEBELUM TERLAMBAT 28 Desember 2011.

Mblusuk Stasiun Wonosobo

Ini bukan Blusukan berencana, hanya mampir buat sekedar mendokumentasikan sudut-sudut stasiun Wonosobo. Karena satu mobil hanya saya sendiri yang turun dan sedikit mblusuk.
Sabtu 19 November 2011, mumpung pake mobil setir sendiri, dan yang ngikut temen-temen sendiri jadi aku sempet-sempetin mampir ke Stasiun Wonosobo dalam perjalanan ke Salatiga. Sebenernya sepanjang Klampok - Wonosobo saya udah nggak konsen ngelihat ke kanan dan ke kiri untuk nemuin artefak SDS dan bangunan kuno. Ku hanya pasrah sama cuaca yang mendung dan Istriku yang pegang kamera buat dokumentasikan artefak-artefak SDS, yang saya yakin nggak bakalan dapet maksimal, secara nyopirnya juga agak ugal-ugalan (kejar waktu).

Hanya bekal ingat-ingat penyusuran via Google Earth, dan dulu sering juga melintasi jalur ini. Saya masih inget betul dimana rel yang deketan sama jalan raya, mana perlintasan, jembatan, dan mana lagi ya .... hehehe banyak yang berubah setelah sekian lama tidak melewatinya.

Singkat cerita ku dah muter-muter akhirnya nemu juga yang namanya Setasiun kereta Wonosobo. Pertama yang ku temuin adalah bangunan gudang yang berada di Terminal Bus "Dieng", sebenernya ku agak bingung disini karena keadaan bangunan dengan foto yang ku lihat di bantons.wordpress.com agak sedikit berbeda. Sambil jeprat-jepret bangunan-angunan di sana ku sedikit menyusuri gang ke arah timur. dan akhirnya ku temukan juga sebuah bangunan yang mirip sekali dengan bangunan yang di foto oleh mas Banton di  bantons.wordpress.com. Masih ada Wessel dan kantor loket yang sekarang masih aktif sebagai kantor persewaan asset PT. KAI. Disana saya bertemu dengan pak Sudiono sebagai petugas pelayanan dan Kepala setasiun. Sebuah bagan rel dan wessel sempat saya repro.

Banjoemas Heritage
Tampak depan gudang besar

Banjoemas Heritage
Tampak belakang gudang besar dan con block bekas jalur utama rel kereta

Banjoemas Heritage
Tampak belakang gudang besar
Banjoemas Heritage
Perumahan pegawai PT. KAI yang sekarang di sewakan untuk umum juga

Banjoemas Heritage
Con Block Gang yang duluya adalah jalur utama rel dan besi bantalan percabangan

Banjoemas Heritage
Tampak belakang dan wesel

Banjoemas Heritage
Tampak belakang ada gudang kecil, ruang Kepala Stasiun (loket) dan Wesel
Banjoemas Heritage
Tampak Depan, inset nomer aset PT. KAI

Banjoemas Heritage
Bentuk loket dari luar dan dalam

Banjoemas Heritage
Pak Sudiono sedang melayani sewa-menyewa lahan PT.  KAI

Banjoemas Heritage
Bagan rel stasiun Wonosobo (klik +)

Banjoemas Heritage
Peta Kota Wonosobo dan arah jalan ke Stasiun (klik +)


Terimakasih buat pak Sudiono, Agung Gaung dan Istri, Kunts Animator, Istriku + anakku.

Mblusuk Rumah Tua Keluarga Kho

Perjalanan pencarian beberapa marga di kota Banyumas dan Sokaraja untuk sebuah proyek silsilah membawaku ke sebuah rumah keturunan keluarga Kho di sekitar pertigaan Klenteng. Pemilik rumah dengan ramah menerima saya dan mempersilahkan untuk memasuki lingkungan Rumah utama keluarga Kho yang sudah tidak di tinggali, dan hanya di gunakan untuk tempat sarang burung lawet saja. Seorang penjaga gedung mengantar saya dan mas Wawan ke dalam gedung, meski tidak begitu paham seperti apa fungsi rumah tersebut dahulunya. 

Pada bangunan yang saya kunjungi ini terdiri dari 3 bangunan, dua bangunan berarsitektur Indisch dan satu di tengah ber arsitektur Tionghoa. Arsitektur Tionghoa milik keluarga Kho ini sangat khas sebagai arsitektur Campuran antara Arsitektur Cina dan Jawa. Ini di perlihatkan adanya Pendopo di bagian tengah dimana terdapat Soko Guru atau empat pilar utama. Walaupun Dr Pratiwo M Arch, seorang peneliti arsitektur Tionghoa mengatakan bahwa arsitektur Tionghoa di Indonesia bukan merupakan arsitektur asli Tiongkok, karena menurut beliau arsitektur Tionghoa yang berada di Jawa tidak di ketemukan di sana. Namun menurutku tetap adanya unsur-unsur Tionghoa yang khas seperti bentuk atap, dinding, skat pemisah, countyard, ukiran dan beberapa elemen kayu yang tersusun seperti di Kelenteng.

Pada bangunan yang bergaya Indisch berada di samping kanan dan kiri. Pada bangunan sebelah kanan jenis bangunan dan beberapa peralatan yang menunjukan kalau dahulu merupakan dapur dan ruangan untuk pembantu. sedangkan pada bangunan sebelah kiri terdapat ruangan yang besar dan tinggi, kalau saya melihat ini semacam bangunan kantor. 


Simulasi tiga dimensi (download) sudah saya siapkan dan bisa dilihat di Google Earth (download) , dengan terlebih dahulu mendowloadnya.


Banjoemas Heritage
Tampakan gedung secara keseluruhan

Banjoemas Heritage
Bagian depan bangunan berarsitektur bergaya Indisch

Banjoemas Heritage
Bagian arsitektur bergaya Tionghoa

Banjoemas Heritage
Sebuah mobil Opel Olympia (1951) dibiarkan teronggok

Banjoemas Heritage
Detail Ukiran gaya Tionghoa dan Emboss

Banjoemas Heritage
Bagian arsitektur bergaya Belanda mengapit rumah bergaya Oriental

Banjoemas Heritage
Bagian pintu dan jendela bangunan barsitektur Tionghoa

Banjoemas Heritage
Pintu ruangan di dalam bangunan Tionghoa

Banjoemas Heritage
Interior bergaya Tionghoa

Banjoemas Heritage
Beberapa foto yang kemungkinan adalah Kho Lie

Banjoemas Heritage
Countyard di tengah rumah

Banjoemas Heritage
Selasar bangunan bergaya Indisch

Banjoemas Heritage
Selasar dan atap bangunan bergaya Indisch

Banjoemas Heritage
Selasar dan pilar bangunan belakang 

Banjoemas Heritage
Lantai satu bangunan belakang

Keluarga Kho sangat terkenal karena merupakan saudagar kaya pada masa kolonial, dan salah satu keluarganya merupakan Letnan Tionghoa bernama yaitu Letnan Tionghoa Kho Han Tiong atau ketua etnis Tionghoa di Sokaraja pada masa itu. Keturunan keluarga Kho yang terkenal adalah Kho Sin Kie dimana dia merupakan atlet tenis muda pertama dari Sokaraja yang mendunia. Hho Sin Kie merupakan lulusan THHT (Sekolah Tionghoa di Sokaraja)

Terimakasih kepada keluarga Kho, keluarga Go, ibu Leny, penjaga Gedung, mas Wawan dan Koh Senu (keluarga Bhe). Terimakasih juga buat Pak Alfian dari purwokertoantik.com

Beberapa tulisan di ambil dariwww.antaranews.com
Artikel ini juga bisa di baca di www.banjoemas.com